SIAPA YANG MEREKOMENDASIKAN HALAL DARI ASPEK EKONOMI

on Jumat, 04 Mei 2012


Tulisan 2
BAB 1
PENDAHULUAN
 Penelitian Perilaku Konsumen Masyarakat Muslim terhadap Konsumsi Makanan Halal merupakan penelitian awal dari serangkaian penelitian tentang Peluang Usaha Produk Halal di Pasar Global yang direncanakan akan dilakukan pada lima tahun ke depan. Penelitian ini tidak hanya penting untuk memberikan masukan atas kebijakan dalam penetapan sertifi kasi produk halal, tetapi juga merupakan pengembangan ilmu khususnya ekonomi Islam dan psikologi Islam.
           
            Di negara-negara berbahasa Arab, kata tersebut digunakan untuk merujuk secara umum untuk apa saja yang diperbolehkan oleh aturan Islam, sebagaimana firman dalam bahasa Arab berarti "halal" atau "diijinkan." Di seluruh dunia, ini berlaku terutama makanan. Sebagian besar negara memiliki undang-undang pelabelan makanan untuk melindungi sertifikasi halal dan halal, untuk memastikan bahwa label makanan yang akurat.
Menurut hukum Islam, Muslim dilarang makan daging babi, darah, darat karnivora, omnivora, bangkai, dan minuman keras. Larangan terhadap daging babi adalah salah satu aspek paling sulit dari diet Muslim, karena masuknya produk samping daging babi dalam banyak makanan. Sebuah daftar panjang bahan mungkin menyembunyikan produk daging babi yang diturunkan, jadi Muslim yang taat melihat label halal. Selain itu, ada pembatasan pada makanan laut; banyak Muslim percaya bahwa ikan hanya dengan timbangan halal, tidak termasuk kerang dan krustasea sebagai haram.

            Fitur yang membedakan penting dari daging halal adalah bahwa hewan harus disembelih atas nama Allah. Setiap Muslim bisa menyembelih binatang untuk makanan, selama ia menyembelih binatang dengan cepat memutuskan arteri utama leher, dan mengucapkan nama Allah sebagai hewan dibunuh. Hewan disembelih dengan cara lain itu haram, seperti juga binatang yang disembelih atas nama Dewa palsu, atau hewan yang tidak didedikasikan untuk dewa pun ketika mereka dibantai.
           
            Di negara-negara muslim, mencari makanan halal relatif mudah, karena toko dan restoran sering dijalankan oleh umat Islam yang taat syariah. Di luar negara-negara Muslim, bagaimanapun, mengikuti Syariah bisa sangat sulit, terutama dengan makanan olahan. Beberapa organisasi Muslim telah menerbitkan daftar bahan yang mengandung daging babi, dan perusahaan yang membuat makanan yang aman untuk dimakan.





















BAB II
PEMBAHASAN
 Umat Islam sangat berhati-hati dalam memilih dan membeli pangan dan produk lainnya yang diperdagangkan. Mereka tidak akan membeli barang atau produk lainnya yang diragukan kehalalannya. Masyarakat hanya mau mengkonsumsi dan menggunakan produk yang benar-benar halal dengan jaminan tanda halal/keterangan halal resmi yang diakui Pemerintah. Fenomena yang demikian pada satu segi menunjukkan adanya tingkat kesadaran terhadap pelaksanaan keyakinan menurut hukum Islam, dan pada segi yang lain mendorong timbulnya sensitivitas mereka ketika pangan dan produk lainnya bersentuhan dengan unsur keharaman atau kehalalannya.

Sertifikasi halal dan labelisasi halal merupakan dua kegiatan yang berbeda tetapi mempunyai keterkaitan satu sama lain. Sertifikasi halal dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan pengujian secara sistematik untuk mengetahui apakah suatu barang yang diproduksi suatu perusahaan telah memenuhi ketentuan halal. Hasil dari kegiatan sertifikasi halal adalah diterbitkannya sertifikat halal apabila produk yang dimaksudkan telah memenuhi ketentuan sebagai produk halal. Sertifikasi halal dilakukan oleh lembaga yang mempunyai otoritas untuk melaksanakannya, tujuan akhir dari sertifikasi halal adalah adanya pengakuan secara legal formal bahwa produk yang dikeluarkan telah memenuhi ketentuan halal. Indonesia dalam menghadapi perdagangan bebas tingkat regional, internasional dan global, dikhawatirkan sedang dibanjiri pangan dan produk lainnya yang mengandung atau terkontaminasi unsur haram. Dalam teknik pemrosesan, penyimpanan, penanganan, dan pengepakan acapkali digunakan bahan pengawet yang membahayakan kesehatan atau bahan tambahan yang mengandung unsur haram yang dilarang dalam agama Islam.

Labelisasi halal merupakan rangkaian persyaratan yang seharusnya dipenuhi oleh pelaku usaha yang bergerak dibidang pengolahan produk makanan dan minuman atau diistilahkan secara umum sebagai pangan. Pangan (makanan dan minuman) yang halal, dan baik merupakan syarat penting untuk kemajuan produk-produk pangan lokal di Indonesia khususnya supaya dapat bersaing dengan produk lain baik di dalam maupun di luar negeri. Indonesia merupakan Negara dengan mayoritas penduduknya adalah muslim. Demi ketentraman dan kenyamanan konsumen pelaku usaha wajib menampilkan labelisasi halal yang sah dikeluarkan oleh pemerintah melalui aparat yang berwenang. Dengan menampilkan labelisasi halal pada pangan yang ditawarkan ke konsumen ini menjadikan peluang pasar yang  baik sangat terbuka luas dan menjanjikan.

Dalam sistem perdagangan internasional masalah sertifikasi dan penandaan kehalalan produk mendapat perhatian baik dalam rangka memberikan perlindungan terhadap konsumen umat Islam di seluruh dunia sekaligus sebagai strategi menghadapi tantangan globalisasi dengan berlakunya sistem pasar bebas dalam kerangka ASEAN - AFTA, NAFTA, Masyarakat Ekonomi Eropa, dan Organisasi Perdagangan Internasional (World Trade Organization). Sistem perdagangan internasional sudah lama mengenal ketentuan halal dalam CODEX yang didukung oleh organisasi internasional berpengaruh antara lain WHO, FAO, dan WTO.[4] Negara-negara produsen akan mengekspor produknya ke negara-negara berpenduduk Islam termasuk Indonesia. Dalam perdagangan internasional tersebut label/tanda halal pada produk mereka telah menjadi salah satu instrumen penting untuk mendapatkan akses pasar yang memperkuat daya saing produk domestiknya di pasar internasional.

Disamping jaminan pangan baik, pemberian jaminan halal akan meningkatkan daya saing produk pangan lokal Indonesia terhadap produk-produk impor yang tidak mendapatkan sertifikat halal. Hukum halal pangan bagi umat Islam sebetulnya tidak hanya merupakan doktrin agama saja tetapi terbukti secara ilmiah adalah baik, sehat dan dapat diterima akal (Scientifically sound), jadi pangan baik dan halal, bermanfaat dan baik untuk semua umat manusia. Mengkonsumsi makanan halal merupakan kewajiban bagi setiap Muslim. Halal dan baik secara jasmani dan rohani. Oleh karena itu mendapatkan pangan halal seharusnya merupakan hak bagi setiap konsumen Muslim. Halal berarti lepas atau tidak terikat. Makanan yang halal adalah yang diijinkan untuk dikonsumsi atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya. Baik (Thayyib) adalah lezat, baik, sehat dan menentramkan. Pangan yang baik di sini dapat diartikan sama dengan pangan yang memiliki cita rasa baik, sanitasi higine baik dan kandungan gizinya yang baik.

Respons positif terhadap kepentingan sertifikasi dan pencantuman tanda halal pada pangan dan produk lainnya telah dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan diterbitkannya beberapa peraturan setingkat Keputusan Menteri Agama secara parsial, tidak konsisten, terkesan tumpang tindih, dan tidak sistemik yang berkaitan dengan sertifikasi dan pencantuman tanda halal, oleh karena itu pengaturan demikian belum memberikan kepastian hukum dan jaminan hukum bagi umat Islam untuk mengenal pangan dan produk lainnya yang halal. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan peraturan pelaksanaannya belum memberikan kepastian hukum dan jaminan hukum kepada umat Islam untuk mengenal pangan dan produk lainnya yang halal, semua undang-undang tersebut mensyaratkan agar pelaku usaha memproduksi produk yang halal, tetapi keterangan yang menentukan kehalalan, pihak yang berwenang menerbitkan label halal, dan keseragaman logo label halal pada produk makanan dan minuman yang beredar di Indonesia tidak jelas diberlakukan.

Peraturan tertinggi yang menyentuh pangan halal adalah Undang-undang Pangan RI No 7 Tahun 1996 tentang Pangan, yaitu di dalam Bab IV tentang Label dan Iklan Pangan Pasal 30 ayat 2 dan Pasal 34 ayat 1. Di dalam Pasal 30 ayat 2 disebutkan bahwa label pangan minimal mencantumkan nama produk, daftar yang digunakan, berat bersih atau isi bersih, nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia, keterangan tentang halal serta tanggal, bulan, dan tahun kadaluarsa. Ayat tersebut secara tersirat mengandung arti bahwa keterangan halal merupakan salah satu informasi yang wajib dicantumkan pada label pangan. Akan tetapi sayangnya pengertian ini dimentahkan oleh penjelasan dari ayat tersebut yang menguraikan bahwa pencantuman keterangan halal pada label pangan baru merupakan kewajiban apabila setiap orang yang memproduksi dan atau memasukkan pangan ke wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakan bahwa pangan yang bersangkutan adalah halal bagi umat Islam, jadi pencantuman keterangan halal pada label pangan bukan merupakan suatu kewajiban untuk semua produsen pangan.








BAB III
PENUTUP

Pengaturan secara hukum mengenai labelisasi halal ini mencerminkan bahwa persoalan ini dianggap bukan persoalan penting bagi pemerintah. Upaya mengharmonisasikan dan merinci atau bahkan membentuk aturan yang lebih jelas dan terarah merupakan hal utama yang harus menjadi prioritas karena ini termasuk kedalam permasalahan kemaslahatan umat, khususnya umat Islam.



Sumber:
http://www.mediasriwijaya.com/2012/04/label-halal-antara-syariah-politik-dan.html
http://makanandanminumanhalal.blogspot.com/2012/02/apa-arti-label-makanan-dan-minuman.html





Tag :

BAGAI MANA TULISAN HALAL DALAM ASPEK HUKUM EKONOMI


Tulisan 1
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
                 Indonesia adalah salah satu Negara di dunia yang mayoritas penduduknya adalah beragama islam,dan karena di agama islam sebuah sempel ‘HALAL’itu sangat penting dan perlu sangat di perhatikan.Maka peran pemerintah perlu dan bahkan harus turun tangan meninjau semua produk-produk yang di hasilkan ! agar masyarakat merasa aman dengan apa yang mereka gunakan.Maka dari itu peran pemerintah amatlah sangat penting.
                 Mengingat pentingnya masalahan kehalalan karkas, daging dan jeroan, maka pemerintah telah menetapkan Undang-undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan dalam Pasal 30 ayat (2) huruf e, menyatakan bahwa label pangan memuat sekurang-kurangnya keterangan tentang halal. Dalam Pasal 58 diatur mengenai sanksi yang diberikan dengan ancaman pidana maksimal 3 (tiga) tahun penjara dan/atau denda Rp 360 juta, apabila terbukti memberikan pernyataan atau keterangan yang tidak benar dalam iklan atau label bahwa pangan yang diperdagangkan tersebut sesuai menurut persyaratan agama atau kepercayaan tertentu.
                 Selain itu dalam kaitannya dengan penyelenggaraan karantina hewan menurut Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan diamanatkan pada Pasal 8 bahwa dalam hal-hal tertentu, sehubungan dengan sifat hama dan penyakit hewan atau hama dan penyakit ikan, atau organisme pengganggu tumbuhan, pemerintah dapat menetapkan kewajiban tambahan disamping kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, pasal 6, dan pasal 7 serta dipertegas kembali pada Pasal 5 ayat (3) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000 tentang Karantina Hewan yang menyatakan bahwa pemeriksaan terhadap produk asal hewan khusus bagi keperluan konsumsi manusia telah sesuai dengan ketentuan teknis mengenai kesehatan masyarakat veteriner serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, walaupun tidak secara spesifik mengatur tentang persyaratan kehalalannya.
                 Sistem Jaminan Halal (SJH) merupakan sebuah sistem yang mengelaborasikan, menghubungkan, mengakomodasikan dan mengintegrasi- kan konsep-konsep syariat Islam khususnya terkait dengan halal haram, etika usaha dan manajemen keseluruhan, prosedur dan mekanisme perencanaan, implementasi dan evaluasinya pada suatu rangkaian produksi/olahan bahan yang akan dikonsumsi umat Islam. Sistem ini dibuat untuk memperoleh dan sekaligus menjamin bahwa produk-produk tersebut halal, disusun sebagai bagian integral dari kebijakan perusahaan, bukan merupakan sistem yang berdiri sendiri. SJH merupakan sebuah sistem pada suatu rangkaian produksi yang senantiasa dijiwai dan didasari pada konsep-konsep syariat dan etika usaha sebagai input utama dalam penerapan SJH.
                 Prinsip sistem jaminan halal pada dasarnya mengacu pada konsep Total Quality Manajement (TQM), yaitu sistem manajemen kualitas terpadu yang menekankan pada pengendalian kualitas pada setiap lini. Sistem jaminan halal harus dipadukan dalam keseluruhan manajemen, yang berpijak pada empat konsep dasar, yaitu komitmen yang kuat untuk memenuhi permintaan dan persyaratan konsumen, meningkatkan mutu produksi dengan harga yang terjangkau, produksi bebas dari kerja ulang, bebas dari penolakan dan penyidikan. Untuk mencapai hal tersebut perlu menekankan pada tiga aspek zero limit, zero defect dan zero risk. Dengan penekanan pada 3 zero tersebut, tidak boleh ada sedikitpun unsur haram yang digunakan, tidak boleh ada proses yang menimbulkan ketidakhalalan produk, dan tidak menimbulkan risiko dengan penerapannya.

                 Oleh karena itu, perlu ada komitmen dari seluruh bagian organisasi manajemen, dimulai dari pengadaan bahan baku sampai distribusi pemasaran
.Manual halal harus dibuat secara terperinci disesuaikan dengan kondisi masing-masing perusahaan agar dapat dilaksanakan dengan baik. Manual halal merupakan sistem yang mengikat seluruh elemen perusahaan. Dengan demikian harus disosialisasikan pada seluruh karyawan di lingkungan perusahaan. Secara teknis manual halal dijabarkan dalam bentuk prosedur pelaksanaan baku (Standard Operating Prosedure / SOP) untuk tiap bidang yang terlibat dalam produksi secara halal.
                 Pada saat pihak perusahaan mengajukan sertifikat halal ke lembaga sertifikasi, telah disepakati bahwa perusahaan diwajibkan untuk menunjuk salah seorang karyawannya untuk bertugas menjadi Auditor Halal Internal. Tugas dan tanggung jawab seorang auditor internal terhadap kehalalan produk, selain bertanggung jawab ke lembaga sertifikasi, juga bertanggung jawab secara organisatoris kepada atasan di perusahaan.

                 Dalam melakukan pengawasan terhadap proses pemasukan karkas, daging dan jeroan dari luar negeri ke dalam wilayah RI, maka petugas karantina perlu diberikan pemahaman dan kewenangan dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap sistem jaminan kehalalan karkas, daging dan jeroan yang dimasukkan tersebut. Pedoman ini diharapkan dapat menjadi petunjuk pelaksanaan pengawasan dan pemeriksaan kehalalan karkas, daging dan jeroan di tempat-tempat pemasukan oleh petugas karantina.

1.1.  Maksud dan Tujuan
                 Tujuan dari Pedoman Pengawasan Kehalalan karkas, daging dan jeroan adalah meningkatkan pengawasan dan pemeriksaan terhadap dokumen sistem jaminan kehalalan karkas, daging dan/atau jeroan yang dimasukkan dari luar negeri pada tempat-tempat pemasukan di Unit Pelaksana Teknis Karantina Pertanian (UPT KP) lingkup Badan Karantina Pertanian.
1.2.  Dasar Hukum
1.      Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3482)
2.      Undang-undang Nomor 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Eshtablishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).
3.      Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3656);
4.      Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821);
5.      5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015);
6.      6. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3253);
7.      7. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3867);
8.      8. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000 tentang Karantina Hewan (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4002);
9.      . Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Giji Pangan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4424);
10.  10. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 20 Tahun 2009 tentang Pemasukan dan Pengawasan Peredaran Karkas, Daging, dan/atau Jeroan dari Luar Negeri;



1.5 Definisi dan singkatan
Dalam Pedoman ini yang dimaksud dengan:
1.      Analisis haram dan penetapan pengendalian titik kritis adalah gambaran suatu proses analisis haram dan penetapan pengendalian titik kritis yang dilakukan oleh suatu tim pada setiap tahapan proses sampai ke tangan konsumen, dengan mempertimbangkan kehalalan karkas, daging dan/atau jeroan, cara pencegahan masuk dan tercemarnya karkas, daging dan/atau jeroan dengan bahan atau unsur haram pada proses produksi sampai dengan pengemasan serta transportasinya.
2.       Proses produksi halal adalah rangkaian kegiatan memproduksi karkas, daging dan/atau jeroan pada suatu Rumah Potong Hewan (RPH) atau Perusahaan Pemrosesan dan Pengolahan yang menjamin kepastian kehalalannya sampai ke tangan konsumen.
3.      Sistem Jaminan Halal yang selanjutnya disebut SJH adalah kepastian hukum bahwa karkas, daging dan/atau jeroan tersebut halal untuk diolah sebagai makanan, dipakai atau digunakan sesuai dengan syariah Islam yang dibuktikan dengan sertifikat halal dan dinyatakan dengan label/logo halal pada kemasan.
4.      Kemasan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau membungkus karkas, daging, dan/atau jeroan, yang bersentuhan langsung maupun tidak langsung.
5.      Alat angkut adalah alat angkutan dan sarana yang dipergunakan untuk mengangkut yang secara langsung berhubungan dengan media pembawa atau secara tidak langsung melalui kemasan media pembawa.
6.      Tanda-tanda kemasan dan alat angkut adalah setiap keterangan mengenai karkas, daging, dan/atau jeroan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lainnya yang disertakan pada karkas, daging, dan/atau jeroan yang dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, dituliskan pada atau merupakan bagian dari kemasan dan alat angkut.
7.      Tanda/Logo Halal adalah tanda khusus dalam bentuk tulisan atau gambar tertentu pada kemasan produk, pada bagian tertentu atau tempat tertentu dengan atau tanpa mencantumkan nomor sertifikat halal yang menjadi bukti sah kehalalan karkas, daging dan/atau jeroan.
8.      Sertifikat Halal adalah keterangan tertulis yang memberikan kepastian kehalalan suatu produk dari suatu lembaga sertifikasi halal yang telah diakui oleh Majelis Ulama Indonesia.
9.      Lembaga Sertifikasi Halal adalah lembaga yang diberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan dan pengkajian aspek kehalalan karkas, daging dan/atau jeroan.
10.  Majelis Ulama Indonesia yang selanjutnya disebut MUI adalah wadah musyawarah ulama, zuama, dan cendikiawan muslim yang berfungsi untuk menetapkan fatwa tentang kehalalan karkas, daging dan/atau jeroan menurut syariah Islam.
11.  Pelaku usaha adalah setiap orang atau badan usaha yang berbadan hukum atau yang tidak berbadan hukum yang menyelenggarakan kegiatan produksi, impor, penjualan, penyimpanan, pengemasan, atau distribusi dan pengangkutan terhadap karkas, daging dan/atau jeroan.
12.  Negara asal pemasukan karkas, daging, dan/atau jeroan, yang selanjutnya disebut negara asal adalah suatu negara yang mengeluarkan karkas, daging, dan/atau jeroan ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia.
13.  Karkas ruminansia adalah bagian dari ternak ruminansia yang didapatkan dengan cara disembelih secara halal dan benar, dikuliti, dikeluarkan darahnya, dikeluarkan jeroan, dipisahkan kepala, kaki mulai dari tarsus/karpus ke bawah, organ reproduksi dan ambing, ekor serta lemak yang berlebih, kecuali yang telah diawetkan dengan cara lain melalui pendinginan yang telah ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI), sehingga lazim dan layak dikonsumsi oleh manusia.
14.  Karkas unggas adalah bagian dari ternak unggas yang telah disembelih secara halal, dicabuti bulunya, dikeluarkan jeroan dan lemak abdominalnya, dipotong kepala dan leher serta kedua kaki atau cekernya.
15.  Daging adalah bagian dari karkas yang didapatkan dari ternak yang disembelih secara halal (kecuali babi) dan benar serta lazim, layak dan aman dikonsumsi manusia, yang terdiri dari potongan daging bertulang atau daging tanpa tulang lainnya, kecuali yang telah diawetkan dengan cara lain daripada pendinginan, termasuk daging variasi dan daging olahan.
16.  Jeroan (edible offal) adalah bagian dari dalam tubuh hewan yang berasal dari ternak ruminansia yang disembelih secara halal dan benar serta dapat, layak, dan aman dikonsumsi oleh manusia, kecuali yang telah diawetkan dengan cara lain daripada pendinginan.
17.  Rekomendasi pemasukan adalah persyaratan-persyaratan teknis yang direkomendasikan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk kepada perorangan dan badan hukum sebagai bahan pertimbangan teknis dalam pemasukan karkas, daging dan/atau jeroan dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.
18.  Persetujuan Pemasukan adalah keterangan tertulis yang diberikan oleh Menteri lain atau pejabat yang ditunjuk kepada perorangan atau badan hukum untuk dapat melakukan pemasukan karkas, daging, dan/atau jeroan dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.
19.  Tempat Pemasukan adalah pelabuhan laut, pelabuhan sungai dan danau, pelabuhan penyeberangan, bandar udara, kantor pos, pos perbatasan dengan negara lain, dan tempat-tempat lain yang ditetapkan sebagai tempat untuk memasukkan media pembawa hama penyakit hewan karantina dan bahan berbahaya lainnya.
20.  Pengawasan kehalalan adalah upaya untuk memeriksa dan memastikan pemenuhan persyaratan teknis tentang sitem jaminan kehalalan bagi karkas, daging dan/atau jeroan dari luar negeri yang diperuntukkan untuk konsumsi manusia di wilayah negara Republik Indonesia.
21.  Tindakan Koreksi adalah kegiatan sebagai upaya pencegahan pemasukan dan peredaran produk pangan segar asal hewan yang mengandung bahan berbahaya dan dapat mengganggu ketentraman bathin masyarakat ke dalam wilayah Republik Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN
             pengawasan kehalalan adalah memastikan bahwa karkas, daging dan/atau jeroan tersebut memiliki dokumen penerapan sistem jaminan halal, tidak mengandung unsur haram dan diproses sesuai syariat Islam.

2.1 Dokumen Kehalalan
Beberapa dokumen kehalalan tersebut antara lain:
1. Sertifikat Halal dari lembaga sertifikasi halal luar negeri yang diakui oleh MUI yang menyatakan bahwa pemotongan hewan sampai proses pengemasan dilakukan berdasarkan syariat Islam
2. Tanda-tanda pada kemasan dan alat angkut
a. Label pada kemasan
b. Segel dan Nomor Segel Kontainer
c. Nomor Kontainer
d. Nomor Pengapalan (Shipping Mark)
Tanda-tanda pada kemasan dan alat angkut tersebut diatas, harus tertuang dalam sertifikat kesehatan (sanitasi) dan/atau sertifikat kehalalan untuk setiap kontainer atau setiap pengapalan.
2.2. Pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan
            Jenis karkas, daging, dan/atau jeroan yang dapat dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia adalah sesuai dengan yang tertera dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 20/Permentan/OT.140/4/2009 tentang Pemasukan Karkas, Daging, dan/atau Jeroan dari Luar Negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia. Oleh sebab itu dalam melakukan pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan terhadap karkas, daging dan/atau jeroan harus memenuhi pesyaratan-persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam permentan tersebut. Dengan demikian persyaratan teknis pengemasan penyimpanan dan pengangkutan karkas, daging dan/atau jeroan merupakan objek pengawasan bagi petugas karantina di tempat pemasukan.

 

BAB III
ISI

            Persyaratan kehalalan adalah persyaratan yang ditetapkan berdasarkan pada hukum syariah Islam dan persyaratan tersebut harus dipenuhi, apabila suatu unit usaha akan memulai suatu proses produksi dan menerapkan sistem jaminan produk halal yang telah disusun untuk tujuan konsumsi di negara-negara muslim. Program persyaratan halal dalam operasionalisasinya meliputi program sanitasi yang diperlukan dalam rangka mencegah terjadinya kontaminasi bahaya yang menyebabkan tidak halalnya produk pangan dan program cara berproduksi yang baik dan halal.
Ø  Dokumen kehalalan
            Merupakan dokumen yang menjadi bukti penerapan sistem jaminan halal mulai dari praproduksi sampai pasca produksi, yang meliputi:
  • Jadwal atau waktu pemotongan halal untuk produk yang ditetapkan dan tertuang dalam dokumen kehalalan.
  • Tempat pemotongan yang dibuat sedemikian rupa sehingga hewan dapat dipotong secara halal (menghadap kiblat)
  • Pemotong memahami dan memenuhi syarat sebagai juru potong halal
  • Pemingsanan harus dipastikan tidak menyebabkan hewan sampai mati sebelum disembelih
  • Proses pengeluaran darah telah sempurna sebelum diproses lebih lanjut.

Ø  Persyaratan pengemasan penyimpanan dan pengangkutan
            Untuk menjamin tidak terjadinya kontaminasi antara produk halal dengan yang tidak halal dalam pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan, maka dipersyaratkan:
·         Dalam pengemasan produk halal tidak boleh dikemas dalam satu kemasan (bercampur dengan produk yang tidak halal)
·         Apabila didalam satu kontainer terdapat beberapa kemasan yang berbeda waktu produksi halalnya maka setiap waktu produksi tersebut harus mempunyai sertifikat halal masing-masing.
·         Setiap kemasan yang diberi tanda/logo halal untuk memudahkan identifikasi, bentuk, ukuran dan warna besar tanda/logo halal tersebut sesuai yang telah disepakati antara MUI dengan lembaga sertifikasi halal oleh negara asal /pengekspor , seperti dalam lampiran.
·         Dalam penyimpanan dan pengangkutan tidak mencampurkan kemasan yang halal dengan yang tidak halal.
·         Bahwa bukti tidak adanya pencampuran dituangkan melalui pencantuman nomor kontainer atau nomor segel kontainer di dalam sertifikat kehalalan. 

BAB VI
PENUTUP

            Masalah kehalalan karkas daging dan jeroan yang diedarkan dan dipasarkan di Indonesia khususnya yang berasal dari luar negeri merupakan masalah serius yang perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak. Secara internal pemerintah perlu menerapkan aturan-aturan yang dapat menjamin kehalalan produk yang diimpor, melalui sebuah pedoman umum yang baku.
            Dengan pedoman ini pihak pemerintah bersama dengan lembaga non pemerintah yang terlibat dalam regulasi dan pengawasan halal dapat bekerja sama dan berkoordinasi lebih baik, sehingga masyarakat mendapat kepastian dan jaminan kehalalan terhadap setiap produk impor khususnya karkas, daging dan jeroan yang dimasukkan dan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.

REFERENSI :
http://karantina.deptan.go.id/inkehati/index.php?link=hayat1
Tag :

tugas 9 Anti monopoli dan persaigan usaha tidak sehat

Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat


Secara etimologi, kata “monopoli” berasal dari kata Yunani ‘Monos’ yang berarti sendiri dan ‘Polein’ yang berarti penjual. Dari akar kata tersebut secara sederhana orang lantas memberi pengertian monoopli sebagai suatu kondisi dimana hanya ada satu penjual yang menawarkan (supply) suatu barang atau jasa tertentu.
“Antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti istlah “monopoli” Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah “monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” dan istilah “dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannya.

Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar ,dimana dipasar tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi yang potensial, dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang permintaan dan penawaran pasar.

Pengertian Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menurut UU no.5 Tahun 1999 tentang Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikankepentingan umum.

Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) Undang-undagn Anti Monopoli). Sementara yang dimaksud dengan “praktek monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli.
Azas dan tujuan
AsasPelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
TujuanUndang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.
Kegiatan yang dilarang
Kegiatan yang dilarang berposisi dominan menurut pasal 33 ayat 2.Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Menurut pasal 33 ayat 2 “ Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Jadi, sektor-sektor ekonomi seperti air, listrik, telekomunikasi, kekayaan alam dikuasai negara tidak boleh dikuasai swasta sepenuhnya
Perjanjian yang dilarang
Jika dibandingkan dengan pasal 1313 KUH Perdata, UU No.5/199 lebih menyebutkan secara tegas pelaku usaha sebagai subyek hukumnya, dalam undang-undang tersebut, perjanjian didefinisikan sebagai suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis . Hal ini namun masih menimbulkan kerancuan.
Perjanjian dengan ”understanding” apakah dapat disebut sebagai perjanjian. Perjanjian yang lebih sering disebut sebagai tacit agreement ini sudah dapat diterima oleh UU Anti Monopoli di beberapa negara, namun dalam pelaksanaannya di UU No.5/1999 masih belum dapat menerima adanya ”perjanjian dalam anggapan” tersebut.

Sebagai perbandingan dalam pasal 1 Sherman Act yang dilarang adalah bukan hanya perjanjian (contract), termasuk tacit agreement tetapi juga combination dan conspiracy. Jadi cakupannya memang lebih luas dari hanya sekedar ”perjanjian” kecuali jika tindakan tersebut—collusive behaviour—termasuk ke dalam kategori kegiatan yang dilarang dalam bab IV dari Undang-Undang Anti Monopoli . 

Perjanjian yang dilarang dalam UU No.5/1999 tersebut adalah perjanjian dalam bentuk sebagai berikut :
(a) Oligopoli
(b) Penetapan harga
(c) Pembagian wilayah
(d) Pemboikotan
(e) Kartel
(f) Trust
(g) Oligopsoni
(h) Integrasi vertikal
(i) Perjanjian tertutup
(j) Perjanjian dengan pihak luar negeri
Perjanjian yang dilarang penggabungan, peleburan, dan pengambil-alihan :

– Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan Usaha atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan/Badan Usaha lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasivadari Perseroan/Badan Usaha yang menggabungkan beralih karena hukum kepadaPerseroan/Badan Usaha yang menerima Penggabungan dan selanjutnya Perseroan/Badan Usaha yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.

– Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan Usaha atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan/Badan Usaha baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan/Badan Usaha yang meleburkan diri dan Perseroan/Badan Usaha yang meleburkan diri berakhir karena hukum.

– Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk memperoleh atau mendapatkan baik seluruh atau sebagian saham dan atau aset Perseroan/Badan Usaha. yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap Perseroan/Badan Usaha tersebut Terdapat sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha yang dikecualikan dari aturan UU No. 5/1999 (sebagaimana diatur di pasal 50 dan 51 UU No.5/1999). Sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha yang dikecualikan tersebut berpotensi menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya karena dimungkinkan munculnya penafsiran yang berbeda-beda antara pelaku usaha dan KPPU tentang bagaimana seharusnya melaksanakan sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha tersebut tanpa melanggar UU No. 5/1999. Bisa jadi suatu perjanjian atau suatu kegiatan usaha dianggap masuk dalam kategori pasal 50 UU No. 5/1999 oleh pelaku usaha, tetapi justru dianggap melanggar undang-undang oleh KPPU. Oleh karena itu, perlu adanya ketentuan lanjutan yang lebih detil mengatur pelaksanaan sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha tersebut demi menghindarkan salah tafsir dan memberikan kepastian hukum baik bagi pengusaha maupun bagi KPPU. 
Sebagaimana dapat dibaca di pasal 50 dan 51, aturan tentang sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha tersebut masing-masingnya diatur dengan sangat singkat, dalam satu kalimat saja.
Hal-hal yang dikecualikan dalam UU anti monopoli
Hal-hal yang dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli adalah sebagai berikut :

(1) Perjanjian-perjanjian tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar,
yang terdiri dari :
(a) Oligopoli
(b) Penetapan harga
(c) Pembagian wilayah
(d) Pemboikotan
(e) Kartel
(f) Trust
(g) Oligopsoni
(h) Integrasi vertikal
(i) Perjanjian tertutup
(j) Perjanjian dengan pihak luar negeri
(2) Kegiatan-kegiatan tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar,
yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
(a) Monopoli
(b) Monopsoni
(c) Penguasaan pasar
(d) Persekongkolan

(3) Posisi dominan, yang meliputi :
(a) Pencegahan konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang bersaing
(b) Pembatasan pasar dan pengembangan teknologi
(c) Menghambat pesaing untuk bisa masuk pasar
(d) Jabatan rangkap
(e) Pemilikan saham
(f) Merger, akuisisi, konsolidasi
Komisi pengawas persaingan usaha (KPPU)
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
KPPU menjalankan tugas untuk mengawasi tiga hal pada UU tersebut:

1. Perjanjian yang dilarang, yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara bersama-sama mengontrol produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat seperti perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian tertutup, oligopoli, predatory pricing, pembagian wilayah, kartel, trust (persekutuan), dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.

2. Kegiatan yang dilarang, yaitu melakukan kontrol produksi dan/atau pemasaran melalui pengaturan pasokan, pengaturan pasar yang dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

3. Posisi dominan, pelaku usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang dimilikinya untuk membatasi pasar, menghalangi hak-hak konsumen, atau menghambat bisnis pelaku usaha lain.

Dalam pembuktian, KPPU menggunakan unsur pembuktian per se illegal, yaitu sekedar membuktikan ada tidaknya perbuatan, dan pembuktian rule of reason, yang selain mempertanyakan eksistensi perbuatan juga melihat dampak yang ditimbulkan.

Keberadaan KPPU diharapkan menjamin hal-hal berikut di masyarakat:
1. Konsumen tidak lagi menjadi korban posisi produsen sebagai price taker
2. Keragaman produk dan harga dapat memudahkan konsumen menentukan pilihan
3. Efisiensi alokasi sumber daya alam
4. Konsumen tidak lagi diperdaya dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya, yang lazim ditemui pada pasar monopoli
5. Kebutuhan konsumen dapat dipenuhi karena produsen telah meningkatkan kualitas dan layanannya
6. Menjadikan harga barang dan jasa ideal, secara kualitas maupun biaya produksi
7. Membuka pasar sehingga kesempatan bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak
8. Menciptakan inovasi dalam perusahaan
Sanksi
Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, 

UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.

Pasal 48
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.

Pasal 49
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; atau
b. larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau

c. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnva kerugian pada pihak lain.
Aturan ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh lantaran tidak menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan dalam konteks pidana.


sumber :
http://edwinpatimoeraya.blogspot.com/2012/04/anti-monopoli-dan-persaingan-usaha.html
Tag :

tugas 8 perlindumgan konsumen

Perlindungan Konsumen

Pengertian Konsumen
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.Jika tujuan pembelian produk tersebut untuk dijual kembali (jawa: kulakan), maka dia disebut pengecer atau distributor.

Tujuan dan Azas Konsumen
tujuan perlindungan konsumen adalah:
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen
Sedangkan asas-asas yang dianut dalam hukum perlindungan konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UU PK adalah:
1. Asas manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.
2. Asas keadilan
Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4 – 7 UU PK yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.
3. Asas keseimbangan
Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum
Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum

Perbuatan Yang Dilarang Pelaku Usaha
ERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA

Pasal 8

(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang

a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan

b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto,dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut

c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya

d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut

e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut

f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut

g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu

h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label

i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat

j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku

(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud

(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar

(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran

Pasal 9

(1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan atau seolah-olah

a. barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu

b. barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru

c. barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor , persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu

d. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi

e. barang dan/atau jasa tersebut tersedia

f. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi

g. barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu

h. barang tersebut berasal dari daerah tertentu

i. secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain

j. menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung resiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap

k. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti

(2) Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan

(3) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut


SANKSI PELAKU USAHA PERLINDUNGAN KONSUMEN


Masyarakat boleh merasa lega dengan lahirnya UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun bagian terbesar dari masyarakat kita belum tahu akan hak-haknya yang telah mendapat perlindungan dalam undang-undang tesebut, bahkan tidak sedikit pula para pelaku usaha yang tidak mengetahui dan mengindahkan UU Perlindungan Konsumen ini.

Dalam pasal 62 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut telah diatur tentang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku usaha diantaranya sebagai berikut : 1) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dan milyard rupiah) terhadap : pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan berat, jumlah, ukuran, takaran, jaminan, keistimewaan, kemanjuran, komposisi, mutu sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau keterangan tentang barang tersebut ( pasal 8 ayat 1 ), pelaku usaha yang tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa ( pasal 8 ayat 1 ), memperdagangkan barang rusak, cacat, atau tercemar ( pasal 8 ayat 2 ), pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen di dalam dokumen dan/atau perjanjian. ( pasal 18 ayat 1 huruf b ) 2) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) terhadap : pelaku usaha yang melakukan penjualan secara obral dengan mengelabuhi / menyesatkan konsumen dengan menaikkan harga atau tarif barang sebelum melakukan obral, pelaku usaha yang menawarkan barang melalui pesanan yang tidak menepati pesanan atau waktu yang telah diperjanjikan, pelaku usaha periklanan yang memproduksi iklan yang tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang/jasa.

Dari ketentuan-ketentuan pidana yang disebutkan diatas yang sering dilanggar oleh para pelaku usaha masih ada lagi bentuk pelanggaran lain yang sering dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu pencantuman kalusula baku tentang hak pelaku usaha untuk menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen dalam setiap nota pembelian barang. Klausula baku tersebut biasanya dalam praktiknya sering ditulis dalam nota pembelian dengan kalimat “Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” dan pencantuman klausula baku tersebut selain bisa dikenai pidana, selama 5 (lma) tahun penjara, pencantuman klausula tersebut secara hukum tidak ada gunanya karena di dalam pasal 18 ayat (3) UU no. 8 tahun 1999 dinyatakan bahwa klausula baku yang masuk dalam kualifikasi seperti, “barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” automatis batal demi hukum.

Namun dalam praktiknya, masih banyak para pelaku usaha yang mencantumkan klausula tersebut, di sini peran polisi ekonomi dituntut agar menertibkannya. Disamping pencantuman klausula baku tersebut, ketentuan yang sering dilanggar adalah tentang cara penjualan dengan cara obral supaya barang kelihatan murah, padahal harga barang tersebut sebelumnya sudah dinaikan terlebih dahulu. Hal tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan pasal 11 huruf f UU No.8 tahun 1999 dimana pelaku usaha ini dapat diancam pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp.500 juta rupiah.

Dalam kenyataannya aparat penegak hukum yang berwenang seakan tdak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa dalam dunia perdagangan atau dunia pasar terlalu banyak sebenarnya para pelaku usaha yang jelas-jelas telah melanggar UU Perlindungan Konsumen yang merugikan kepentingan konsumen. Bahwa masalah perlindungan konsumen sebenarnya bukan hanya menjadi urusan YLKI atau lembaga/instansi sejenis dengan itu, berdasarkan pasal 45 ayat (3) Jo. pasal 59 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tanggung jawab pidana bagi pelanggarnya tetap dapat dijalankan atau diproses oleh pihak Kepolisian. ( Oktober 2004 )


universitas gunadarma
Sumber
www.anneahira.com/artikel-umum/perlindungan-konsumen.htm
http://www.tunardy.com/asas-dan-tujuan-hukum-perlindungan-konsumen/
http://www.asiatour.com/lawarchives/indonesia/konsumen/asiamaya_uu_perlindungan_konsumen_bab4.htm
http://pkditjenpdn.depdag.go.id/index.php?page=sanksi
http://www.kantorhukum-lhs.com/details_artikel_hukum.php?id=33
Tag :
 
© joko saputra 92 | All Rights Reserved
Bloggerized ByImuzcorner | Powered ByBlogger | The Gunners Template ByFree Blogger Template